“Kamu pernah masturbasi?”
Ini ditanyakan oleh Susanti Rendra dari Laci Asmara, saat saya menanyakan apakah di tempatnya sedang buka lowongan penulis.
Saya bertemu dengan Susanti Rendra di acara talkshow kesehatan mental yang diadakan oleh Angsamerah Clinic, Minggu (15/9). Saat sedang break, saya iseng mampir ke booth yang cukup unik.
Gimana tidak unik, ada pelbagai perangkat seks ditata di mejanya. Lucu-lucu, warna-warni, untuk bermacam kebutuhan, mulai dari klitoris, sampai penetrasi. Tidak hanya untuk perempuan, ada juga semacam tali buat menahan ejakulasi.
Kemudian Susanti yang punya panggilan Susu ini, mengatakan kalau Laci Asmara bakal launching website dan memang membutuhkan kontribusi tulisan. Namun, tulisan yang akan dimuat lebih spesifik mengenai health and pleasure. Sehingga, diharapkan tulisan yang masuk “membumi”, relate, bukan sekadar tips.
Saya bukan pakar masturbasi. Saya tidak menjadikan masturbasi sebagai ritual harian, mingguan, atau bulanan. Tapi, saya akui masturbasi membuat saya bisa lebih memahami vagina saya.
Termasuk titik-titik erotikal yang memberikan sensasi kenikmatan. Kalau boleh jujur, tidak ada yang bisa menggantikan penetrasi, fingering dengan orang yang disayangi dan bertanggung jawab.
Masturbasi bukan kebiasaan saya. Apalagi saya cukup aktif berolahraga. Dulu sempat doyan lari, bikram yoga, muaythai, dan kelas-kelas lepas seperti zumba, yogalates dan lain-lain. Susu menyimak, dan menambahkan kalau temannya juga tidak terlalu aktif bermasturbasi dan mendapatkan orgasme lewat lari.
“Lo, bisa memulai tulisan dari pengalaman Lo atau pengalaman teman Lo,” komentar Susu. Menyinggung teman dan masturbasi, saya punya teman perempuan yang menjadikan masturbasi sebagai rutinitas. Paling tidak seminggu sekali dia akan mem-fingering dirinya sendiri. Sebatas pada klitoris saja, dia tidak berani memasukkan ke dalam lubang vagina.
Ke saya dia cerita butuh imajinasi yang kuat untuk bisa melakukan mastubasi, dan laki-laki yang menjadi objek imajinatifnya adalah orang yang sedang dia senangi.
Dia sering berbagi pengalaman masturbasinya dan saya suka mendengarkan informasi tersebut, karena isu seksualitas menjadi kegemaran saya. Dia bercerita, dia kerap menahan erangan, supaya tidak terdengar oleh ibu yang bersebelahan kamar dengannya.
Dan setiap kali mau orgasme, dia selalu menyebutkan satu nama—laki-laki yang sedang dia senangi. Oh ya, dia punya koleksi video porno yang kerap membantunya membangun imajinasi.
Teman perempuan saya yang lain lebih aktif lagi, hampir setiap hari dia masturbasi supaya bisa tidur dan rileks. “Mungkin Gue hiper kali ya,” katanya.
Saya berada di lingkup pertemanan hitam-putih. Selain kelompok teman perempuan yang pro masturbasi, ada juga kelompok yang tidak pro masturbasi. Jangankan masturbasi, klitoris saja dia tidak tahu letaknya dimana, “Klitoris itu yang mana?” tanya teman perempuan saya yang notabene sudah berusia 30 tahun.
Ketika ngomongin soal “basah” karena terangsang, dia kembali menanyakan, “Memang bisa basah ya?” Lalu saya tanya kembali, “Memang kamu kalau sedang nonton film yang ada adegan intimnya nggak terangsang dan basah vaginanya?”
Lantas dia menjawab, “Nggak kok…”
Saya tidak tahu apakah jawaban ini adalah jawaban sebenarnya. Karena bila benar, “hebat” sekali. Selain kelompok hitam dan putih tadi, ada juga kelompok yang hipokrit. Melakukan masturbasi tapi menentang aktivitas tersebut saat dibicarakan di publik.
“Euw..” demikian komentar teman saya, ketika menyinggung mengenai masturbasi di hadapan teman-teman yang lain. Lucunya kami bekerja sebagai penulis di website kesehatan, tapi menganggap tabu omongan tentang masturbasi.
Lalu ada juga yang seksis, ketika tahu seorang perempuan masturbasi, langsung mencap si perempuan cabul dan pikirannya selalu tentang seks. Bahkan yang paling parah, mengira perempuan yang aktif masturbasi gampang diajak ngeseks.
Beberapa waktu lalu saya selesai membaca buku C*bul: Perbincangan Serius Tentang Seksualitas Kontemporer yang ditulis oleh Hendri Yulius. Salah satu topik dalam buku tersebut yang saya tangkap adalah betapa hipokritnya netizen +62 saat membahas tentang seks.
Dan masturbasi sebagai bagian dari seks, bisa dibilang berada di level kedua terendah setelah hubungan seks sebelum menikah. Saya membaca gejala “benci dan cinta” untuk masturbasi. Dinikmati sekaligus dicaci.
Tidak boleh dibahas terang-terangan. Karena akan menunjukkan moral yang bejat, nafsu yang besar, dan pikiran yang kotor. Apalagi ketika perempuan melakukan masturbasi, dianggap sebagai suatu kesesatan yang luar biasa. Sangat berbeda ketika laki-laki yang melakukan masturbasi.
“Oh biasa laki-laki mah masturbasi…”
“Wajar dong laki-laki masturbasi, kan dia harus tahu enak supaya bisa membantu istrinya nanti mendapatkan kepuasan seksual..”
Kalau pernyataan terakhir sih paling “luar biasa” ya, seolah-olah pengetahuan mengenai seksual hak prerogatif milik laki-laki. Kalau laki-laki seistimewa itu kenapa harus Hawa yang memberikan apel kepada Adam? Yang pada akhirnya membuka mata mereka kalau keduanya telanjang?
Pun begitu, “sekonvensional” apapun anggapan teman-teman saya tentang masturbasi dan perempuan yang melakukan masturbasi, tidak ada yang lebih absurd dari mendoakan orang yang masturbasi supaya tidak masturbasi lagi. Apalagi kalau ternyata pelaku masturbasi tersebut anak-anak dibawah 12 tahun.
Memang ada gitu yang sampai didoakan? Ada, saya orangnya.