Berawal dari populernya film romantis klasik tentang perselingkuhan yang populer tahun 1957 berjudul An Affair to Remember, di Amerika ada perayaan An Affair to Remember Month lho. Jadi dimulai tanggal 1 Februari, selama sebulan penuh, banyak pasangan akan menonton dan mengapresiasi film-film romantis terkenal seperti Notebook, Titanic, Casablanca bersama pasangan mereka.
Film An Affair to Remember yang dibintangi oleh Cary Grant dan Deborah Kerr ini merupakan film tentang perselingkuhan. Berkisah tentang dua kekasih yang telah bertunangan dengan orang lain bertemu tidak sengaja di sebuah kapal dalam perjalanan menuju New York. Film ini mempertanyakan lagi apa itu cinta, sayang, komitmen dan dilema mengambil keputusan dalam cinta. Film ini dianggap sebagai salah satu roman paling indah yang pernah dibuat sinema Amerika.
Tapi mari kita fokus ke topik lebih khusus tentang perselingkuhan. Kenapa ya, perempuan selalu jadi yang paling bersalah dalam fenomena ini?
Kenapa Perempuan Disalahkan?
Perselingkuhan seringkali diwarnai asumsi dan stereotip gender yang menempatkan perempuan sebagai orang yang paling disalahkan dalam kasus perselingkuhan. Padahal bisa jadi ceritanya tidak demikian, tetapi masyarakat selalu menjebak perempuan dalam narasi yang merugikan. Aku mau menjelaskan kenapa stigma negatif terhadap perempuan ini sering terjadi.
Sebagai warga Indonesia yang masih didominasi oleh norma-norma patriarki, perempuan cenderung mendapat beban lebih berat dalam konteks perselingkuhan. Kita sering mendengar perempuan dianggap sebagai “penjaga kehormatan” sebuah keluarga dan perselingkuhan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap peran tersebut.
Pemakluman sebagai mekanisme pertahanan psikologis seringkali digunakan untuk meredakan rasa bersalah. Dalam konteks perselingkuhan, masyarakat cenderung lebih mudah memaafkan pria dan menyalahkan perempuan. Pria mendapat pembelaan dengan menganggap mereka telah “tergoda” atau “dipaksa” selingkuh oleh perempuan. Perempuan sering dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kualitas suatu hubungan. Jika pria sampai selingkuh, berarti perempuan tidak menjalankan fungsi yang semestinya dalam hubungan tersebut. Aku rasa anggapan-anggapan tersebut keliru dan tidak adil.
Georgia Nickles, seorang terapis konsultan keluarga, pernikahan dan seks, menjelaskan bahwa pola pikir semacam itu adalah cerminan warisan sejarah di mana perempuan memiliki peran tradisiona mengurus urusan domestikl di dalam rumah, sementara pria dianggap punya peran di luar rumah untuk mencari nafkah.
Rupanya stigma semacam itu masih terjadi di zaman modern. Meski banyak perempuan telah bekerja di luar rumah, mereka masih dibebani tanggung jawab dalam menjaga hubungan, dengan memberikan kasih sayang, mengurus rumah tangga, anak-anak, dan memenuhi kebutuhan seksual pasangan mereka.
Padahal Christopher K. Belous, PhD, seorang peneliti seksologi dan profesor pasangan serta keluarga, menyebut perselingkuhan justru muncul ketika kedua belah pihak mulai menjauh dari hubungan itu sendiri. Belous menegaskan bahwa perempuan tidak seharusnya memikul tanggung jawab untuk membuat suaminya bahagia, dan setiap perselingkuhan merupakan kesalahan dari pihak yang berselingkuh.
Penting untuk masyarakat menyadari bahwa perselingkuhan pria mungkin didorong oleh keinginan mereka sendiri, bukan karena tekanan dari pasangan mereka. Sebaliknya, fokus masyarakat sering kali tertuju pada perempuan dan menyalahkan mereka, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor internal pria tersebut berselingkuh. Hillary Philips, seorang konselor dan terapis seks, menegaskan bahwa perhatian seharusnya lebih tertuju pada pria, dan bukan mencari-cari kesalahan pada perempuan.
Hillary menambahkan bahwa perselingkuhan dapat terjadi ketika kedua pasangan tidak mampu melihat dinamika hubungan mereka dan tidak bersikap jujur satu sama lain. Adanya masalah psikologis seperti narsisme atau sosiopat pada pria yang berselingkuh juga bisa menjadi faktor perselingkuhan. Oleh karena itu, penting untuk tidak secara otomatis menyalahkan perempuan atas setiap kasus perselingkuhan yang terjadi.
Kasus Perselingkuhan Baru-baru Ini
Sebagai perempuan aku memandang, perempuan bukanlah sosok makhluk hidup yang mudah diperdaya, tidak juga ciptaan Tuhan paling dhaif. Mereka tahu dan punya sikap dalam menyikapi perselingkuhan.
Kita ambil contoh kasus perselingkuhan seorang pilot dengan pramugari di Instagram Desember 2023 lalu di Jakarta. Kasus tersebut berakhir dengan sikap Sang Istri memaafkan suaminya yang sudah tertangkap berselingkuh sebanyak enam kali. Tentu, sebagaimana umumnya netizen dalam kasus itu, aku menaruh simpati besar dengan membela Sang Istri dan seketika membenci perempuan yang berselingkuh dengan suaminya.
Tapi dari tangkapan layar pesan yang diunggah korban, ada sebuah pernyataan yang cukup menarik perhatianku dari pramugari yang jadi pelaku perselingkuhan tersebut. Perempuan itu dengan jelas ingin mengakhiri hubungan rahasia bersama Si Lelaki, tetapi Si Lelaki menahannya dan memohon agar dia tidak ditinggalkan. Bahkan Pramugari itu telah merasa cukup dengan situasi berat tersebut dan ingin sendiri untuk membenahi mentalnya. Tapi Laki-laki ini terus berusaha mencari cara mempertahankan hubungan mereka.
Mestinya netizen juga melihat sisi perasaan Si Pramugari yang sudah jemu berada di dalam hubungan tersebut. Tapi yang terjadi justru pramugari itu terus menerus disudutkan dan mendapat sanksi-sanksi sosial sampai nyalinya ciut untuk membela diri. Mirisnya pramugari itu sampai kehilangan pekerjaannya. Netizen mestinya juga melihat, betul dia melakukan kesalahan, tapi bukan hanya dia yang bersalah.
Tidak hanya sampai di situ, kita juga terlibat dalam perselingkuhan ini dengan membuat ceritanya jadi terkenal. Kita bahkan menjadikan pesan yang dibongkar oleh istri pelaku trending di media sosial. Setelah kasus ini terungkap, tidak sedikit pasangan yang berusaha memeriksa ponsel maupun laptop pasangan mereka dan memastikan apakah aplikasi yang digunakan untuk berselingkuh itu terpasang di dalamnya.
Sepertinya penting untuk menyadari bahwa setiap kasus perselingkuhan memiliki dinamikanya sendiri dan mesti disikapi secara holistik. Hal ini akan membantu mengurangi stigma negatif terhadap perempuan, dan mendorong sesama perempuan yang selalu menyebut jargon ‘women empowered women‘ untuk membangun dasar empati dan kesadaran bersama dalam menghadapi persoalan perselingkuhan yang terjadi di sekitar kita.
Memang perselingkuhan bukanlah fenomena yang dapat dijelaskan dengan sederhana. Selingkuh selalu melibatkan dua belah pihak dengan dinamika hubungan yang kompleks. Meskipun stigma gender masih mempengaruhi pandangan kita, kemauan memahami lebih dalam dapat membantu kita melihat lebih adil dan mendukung semua individu yang terlibat di dalamnya. Sehingga kasus perselingkuhan yang sebenarnya urusan privat mereka, dapat dengan bijak kita sikapi.