Personal story-ku menjadi biseksual tidak dimulai dengan masa kecil yang menyedihkan atau trauma seperti stereotipe bahwa LGBT itu harus ada trauma-nya. Kisah percintaanku malah bermula dari bangku kuliah. Waktu yang menurutku cukup layak untuk menjalin berbagai bentuk relasi romantis. Selain itu, ketika masa SD hingga SMA, aku lebih cinta sama buku-buku bacaan serta tenggelam dengan karakter fiksi dan tokoh-tokoh dalam komik dibanding manusia beneran.
Menjadi perempuan biseksual itu gampang-gampang susah. Gampangnya, bisa suka sama siapa saja, tidak peduli dia gendernya apa? Jadi dalam perjalananku, aku tidak menemui tantangan khusus ketika mengidentifikasi sebagai biseksual.
Tentunya nggak semua glow dan glitter. Hanya saja, konsep biseksual itu masih bias sehingga banyak orang tidak mengetahui apa sebenarnya itu biseksual? Beberapa malah berpikir aku suka sama lebah. Lebih sering lagi ditanya bagaimana ciri-ciri biseksual? Ya, aku juga nggak tau gimana ciri-cirinya? Karena kami tampak seperti manusia pada umumnya. Tapi intinya, biseksual itu bisa tertarik dengan dua gender atau lebih.
Jika bicara soal pasangan, ya, aku juga cukup beruntung karena relasiku dengan pasangan-pasangan sebelumnya juga tidak meributkan identitasku sebagai biseksual. Kalau mereka meributkan hal tersebut, ya tentunya nggak akan aku jadikan pasangan, dong.
Di awal pacaran, mungkin pasanganku akan sedikit kikuk dan agak cemas karena berpikir mungkin aku bisa naksir dengan orang lain lagi tanpa mereka tahu gendernya apa, sehingga mereka agak sulit memetakan yang mana yang mereka anggap ‘saingan’ atau tidak ketika aku mengomentari orang lain yang menurutku menarik, lucu, dan menggemaskan. Tapi lama kelamaan, kami bisa bersama-sama mengapresiasi makhluk Tuhan yang cakep-cakep yang diturunkan ke muka bumi ini.
Begitupun dengan identitas biseksualku, aku belum pernah dipaksa ‘disembuhkan’. Aku sering dengar cerita teman-teman gay atau lesbian yang dipaksa untuk bisa suka dengan lawan jenis. Aku kan juga bisa suka sama lawan jenis. Dekat dengan teman-teman lesbian tidak membuatku menjadi lesbian. Sering bersama dengan teman-teman heteroseksual tidak membuatku jadi heteroseksual.
Pertanyaan selanjutnya yang paling sering aku dapat adalah, “Kamu lebih suka laki-laki atau perempuan sih?” Jawabannya sebenarnya semudah: selama masih manusia, hidup, dan diatas 18 tahun, berpikiran terbuka, dan tentunya aku SUKAI. Kalau aku tidak suka, ya tidak suka aja, bukan soal dia laki-laki atau perempuan. It’s all about chemistry, connection, and feeling. Masa iya kalau aku single berarti aku jadi aseksual? Bukan begitu konsepnya.
Mungkin, jika aku refleksikan, tantangan paling besar justru adalah jika orang lain merasa takut dan khawatir bahwa aku bisa dan akan ‘mengambil’ pasangannya, baik itu laki-laki atau perempuan. Sering juga orang berpikir bahwa biseksual=threesome material, meskipun kenyataannya threesome is not my cup of tea.
Dalam perjalananku, aku belajar bahwa menjadi biseksual bukan hanya soal siapa yang kita cintai, tapi juga bagaimana kita mencintai, termasuk mencintai diri sendiri. Ceritaku tentang menjadi biseksual membuka pandanganku bahwa orientasi seksual adalah sebuah spektrum luas, bukan sekedar label atau kategori. Ini mengajarkan aku bahwa cinta itu lebih kompleks dan indah dari pada definisi dan batasan yang seringkali dikotak-kotakkan oleh masyarakat.
Alfred Kinsey dalam buku Sexual Behavior in the Human Male (1948) bilang, “The world is not to be divided into sheep and goats, and not all things are black, nor all things white. It is a fundamental of taxonomy that nature rarely deals with discrete categories. Only human mind invents categories and tries to force facts into separated pigeon-holes. The living world is a continuum in each and every one of its aspects. The sooner we learn this concerning human sexual behavior, the sooner we shall reach a sound understanding of the realities of sex” yang intinya melihat bahwa realitas seks ada berada dalam spektrum yang luas dan beragam dan kaku.
Mengidentifikasi menjadi biseksual itu memberdayakanku untuk mencari informasi yang lebih banyak dan lebih akurat mengenai diriku dan seksualitas yang lebih besar lagi. Meskipun demikian, orientasi seksual tidak mendefinisikan keseluruhan diriku. Aku punya cita-cita, mimpi, harapan, dan kerja-kerja yang panjang. Karena hidup ini bukan tentang cinta dan selangkangan melulu, bukan?
Namun demikian, aku tahu aku merupakan sedikit dari orang-orang yang beruntung. Ada begitu banyak orang di luar sana yang masih begitu keras berjuang untuk diterima, dan mencari tempat di mana mereka bisa jadi diri mereka sendiri.
Jadi, jangan pernah membiarkan siapa pun mendefinisikan siapa dirimu. Namun kamu perlu mencari arah tujuanmu. Selamat menjelajahi dan merayakan keberagaman cinta dalam hidup!