Juni telah tiba. Pride Month is coming! Sepanjang bulan inilah saatnya Pride Month digelar di banyak negara di dunia. Setiap tahun momen ini digunakan oleh kelompok minoritas gender dan seksual LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Queer) untuk mengekspresikan identitas gender dan seksual mereka. Dengan gagah berani, dada membusung, kepala tegak dan angkat dagu, mereka turun ke jalan untuk membangun kesadaran masyarakat akan arti penting kebebasan berekspresi dan hak-hak asasi kelompoknya.
Dengan menggelar parade yang gegap gempita, aksi damai, pengibaran bendera pelangi, pemutaran film dan berbagai macam acara menarik lainnya, kelompok LGBTQ menuntut penghapusan diskriminasi berbasis gender dan orientasi seksual.
Di kebanyakan negara-negara barat dan negara-negara lainya di dunia kelompok ini telah secara rutin menggelar Pride Month. Momen ini bahkan telah menjadi acara yang ditunggu-tunggu. Di beberapa negara Pride Month telah menjadi agenda tahunan pariwisata, karena memang asyik dan meriah, dengan pawai beragam kostum, atraksi musik dan seni. Di Indonesia? Sekitar 20 aktivis LGBTQ yang turun ke jalan di sekitaran Jalan Thamrin, Jakarta, hanya mendapat cacian dan hinaan publik di tahun 2016. Demi keamanan, sejak saat itu mereka memilih untuk berjuang dengan cara lain.
Kelompok LGBTQ di Indonesia nampaknya masih harus terus “tiarap” untuk saat ini dan tahun-tahun ke depan berhubung penerapan pola diskiriminasi yang semakin intens yang dilancarkan kelompok mayoritas masyarakat.
Masih banyak mitos-mitos mengenai LGBTQ yang tetap tumbuh subur di tengah masyarakat yang menimbulkan rasa benci dan ketakutan terhadap kelompok ini. Seumpama, orang-orang heteroseksual dikatakan dapat “ketularan” menjadi homoseksual. Faktanya heteroseksual tidak dapat dirubah menjadi homoseksual. Sebagaimana para homoseksual tidak bisa “disembuhkan” dan dirubah menjadi heteroseksual.
Salah satu sebab derasnya sentimen negatif terhadap LGBTQ adalah narasi agama yang hanya mengakui heteroseksual sebagai satu-satunya orientasi seksual yang “normal”. Terlebih lagi penggunaan agama oleh politisi dan bahkan pemerintah untuk tujuan politis. Mereka menjadikan isu LGBTQ sasaran tembak yang mudah dan aman, karena toh kelompok ini hanyalah segilintir minoritas tak berdaya, untuk menggalang simpati dan mendulang suara pemilih dari masyarakat Indonesia yang religius, kalau tidak bisa dibilang “mabuk agama”.
Di tengah “cuaca” yang sangat tidak bersahabat ini, kelompok minoritas gender dan seksual diharapkan tetap tegar dan kuat, terus berkarya dan berprestasi dibidangnya masing-masing, untuk membuktikan bahwa kalian adalah manusia yang layak dihormati dan dipenuhi hak asasinya sebagaimana warga negara lainnya. Unhappy Pride Month, Indonesian LGBTQ members!